Scene 1

Scene 2

HORISON  MORAL ( dalam   The Use and Abuse of History)

Setiap   Masyarakat   memiliki   Horison  Moral B erisi   pernyataan-pernyataan   absolut   tentang   bagaimana   kita   harus   hidup Horison   ini   mengatur   apa  yang  benar   dan   salah   secara  moral “Orang-orang  Besar ”- lah  yang  menciptakannya   untuk   kita Plato, Locke, Hegel, Buddha, Jefferson,  dan  juga Jesus Mereka   percaya   bahwa  orang-orang  besar   itu  “ menemukan ”,  bukan  “ menciptakan ”  kebenaran Dalam  Sejarah  Peradaban-peradaban   Besar , horizon moral  ini   membolehkan   tersingkirnya   kelompok  yang  lemah ,  tidak   kompeten   dan   bodoh ,  melalui  proses natural Survival of the species Para  Moralis   seperti   Yesus ,  menganggap   nilai-nilai   semacam   itu   keliru .  Hukum   harus   melindungi  yang  lemah .

Scene 3

Horison  Moral  semacam   ini   akhirnya   menjadi   dominan  di  Eropa   Christianity   menaklukkan   Romawi   (a strong culture) M oralitas  agama  tidak   lagi   dipertanyakan   dan   dianggap   pasti   benar ,  sempurna ,  absolut   dan   berasal   dari   Tuhan  ( Transenden ) Konsekuensi :  Natural leaders ,  Mereka  yang  mandiri , para  pemberani , para innovator,  terbelenggu   oleh   satu  system  nilai  yang  membuat   mereka   sama   nilainya   dengan  “ massa ”/orang  banyak /orang  biasa

Scene 4

Bagi  Nietzsche,  semua  horizon  itu   hanyalah   sebentuk   perspektif ,  buatan   manusia , yang  senantiasa   mengalir ,  berubah   dan   tidak   ada   kebenaran   absolut .  Tidak   ada   kebenaran  di  luar   manusia   dan   masyarakat Hidup   tidak   memiliki   makna   sebelum   kita   memberinya   makna Ada  banyak   perspektif  yang  mungkin   diambil   dari   satu   isu  moral  tertentu Setiap   perspektif   itu   terbatas   dan   tidak   lengkap

Scene 5

Genealogi: penyingkapan kedok nafsu-nafsu, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan harapan-harapan yang terungkap dalam sebuah pandangan tertentu mengenai dunia, termasuk dalam moralitas.

Scene 6

Karena  tidak   ada   nilai   atau   etika  yang  sifatnya   transenden  ( dat a ng  dari   luar   dunia   ini ),  maka   kita   harus   menciptakan   nilai   kita   sendiri . Begitu   kita   sadar   bahwa   kita   adalah   pencipta   nilai-nilai   dalam   kehidupan   kita ,  maka   kita   akan   bebas   memilih   nilai   apapun  yang  terbaik . Yaitu : Proses  alami   tersingkirnya   mereka  yang  lemah   dan   kuatnya  orang-orang  besar   untuk   melakukan   hal-hal   besar .

Scene 7

MORALITAS  BUDAK  vs. MORALITAS TUAN  ( dalam   Beyond Good and Evil)

Bagi  Nietzsche, Agama  telah   menggantikan   satu  s i stem  moralitas  Tuan  menjadi  s i stem  Moralitas   Budak Moralitas   Budak Peduli   dan   Sensitif   kepada   semua ,  mengutamakan  orang lain,  tidak   egois ,  membantu  yang  kurang   beruntung ,  berkorban Moralitas   Budak   menekankan   hal   ini   untuk   dilakukan  orang “yang  kuat ” J angan   agresif ,  jangan   egois Bekerjalah   untuk   melayani  yang lain,  bukan   dirimu . “ Barang   siapa   tidak   melakukan   hal   ini ,  maka   termasuk  orang  jahat   dan   akan   masuk   neraka ”

Scene 8

Niatzsche   menginginkan   kita   menghidupkan   kembali  model  moralitas  lama,  yaitu   Moralitas  Tuan Moralitas  Tuan Untuk   menjadi  orang  besar ,  kita   harus   merevisi   pemikiran  model  budak Pemikiran   semacam   itu   mencegah   seseorang   dari   menjadi  orang  besar . Agama  menciptakan  orang  biasa Agama  membelenggu  orang  besar   sehingga   menjadi  orang  biasa   saja Moralitas  Tuan  membuat   kita   berani   menjadi  “ tidak   setara ”, para  pahlawan ,  menonjol   diantara  yang  lemah ,  bodoh   dan   lembut . “Let the strong rise to the top of the heap”

Scene 9

Nietzsche “ membenci ” Agama Agama  itu   konstruksi  social,  namun   masyarakat   secara   membuta   menganggapnya  “ Kebenaran ” Agama  memaksa   seseorang   mengikuti   ajaran   Tuhan ,  bukan   instink   mereka   untuk   menjadi   besar   dan   kuat  ( Will to Power ) Dalam   kondisi   takut / terancam , agama  memaksa   seseorang   menghargai   sikap   rendah   hati ,  bukan   percaya   diri ,  kesetaraan   bukan   individualitas ,  kepengecutan   bukan   keberanian ,  dan  demi “yang  lain”,  bukan  demi  diri   sendiri . Nietzsche juga “ membenci ”  demokrasi ,  sosialisme   dan   komunisme Ketiganya   membolehkan  “orang-orang idiot”  menjalankan   sistem Ketiganya   didasarkan   kepada   kesetaraan ,  padahal   kita   tidakah   setara . Mayoritas  yang  biasa-biasa   selalu   menang ,  sementara   sedikit  yang  kuat   terpaksa   tersisihkan .

Scene 10

Agama (Christianity)  membalik   kategori  lama “ baik   dan   buruk ” (good and bad)  dan   menggantinya   menjadi  “ baik   dan   jahat ” (good and evil) Sebelum   munculnya  agama,  mengikuti   instink   alami   kita   untuk   menjadi  orang  besar  ( moralitas   tuan )  itu  “ baik ” Menyisihkannya   masuk   kategori  “ buruk ” Tidak   ada   konsep  “ jahat ” yang  diasosiasikan   dengan   sesuatu  yang  alami . Setelah   munculnya  agama,  instink   kita   untuk   menjadi   besar   dianggap  “ jahat ” ( moralitas   budak ) Menyisihkannya   masuk   kategori  “ buruk ” Yang  Alami   dalam   diri   kita   dianggap  “ jahat ”

Scene 11

Masyarakat   Romawi   dan  Yunani  Pra -Socrates  mengikuti   instink   alamiah   mereka Baik   itu   adalah   kuat ,  tegas , individual,  berani   dan   berkuasa Jelek   itu   adalah   lemah ,  malu-malu ,  pasif Fokus   Utama   dalam   kehidupan   mereka   adalah   mengejar  “ Kebaikan ” Agama  memaksa   kita   untuk   mengingkari   instink   alamiah   kita   dan   menganggapnya   sebagai   jahat Baik   itu   adalah  yang  lemah   lembut ,  malu-malu ,  berkorban ,  pasif   Jahat   itu   adalah   kuat ,  tegas , individualistic,  menguasai Fokus   Utama   dalam   kehidupan   adalah   memerangi  “ kejahatan ” (ide  kebaikan   dari  era  sebelumnya )

Scene 12

Akibat   Membalik  Yang  Baik   Menjadi   Jahat

Agama  membalik   dorongan   kemanusiaan   kita   menjadi   dorongan   kejahatan Hal  ini   membuat   manusia   membenci   dirinya   dan   bertarung   melawan   dirinya   sendiri Pada   akhirnya   semua  orang  akan   menderita   karena  orang  tidak   mungkin   mampu   mengejar   kesuksesan   dan   kebesarannya   tanpa   dibanjiri   oleh   dosa   dan  rasa  takut   akan   neraka . Berapa   banyak   potensi   besar  yang  dimiliki   banyak  orang  lenyap   begitu   saja . Berapa   banyak  orang yang  tidak   melakukan   apa-apa  Karena  memikirkan  “ melayani  yang lain”  dan  “ mencari   pahala   untuk  surge  esok ”

Scene 13

The Death of God ( In  Thus Spoke Zarathustra)

Tuhan   dan   moralitasnya   harus   mati   kalau   manusia   ingin   mengubah   kondisi   ini ,  sehingga   manusia   BEBAS   mengikuti   will to power- nya Tuhan   memang   seharusnya   mati Tuhan   mati   saat   manusia   sadar   bahwa   merekalah  yang  menciptakan   Tuhan ,  bukan   sebaliknya Seiring   dengan   kematian   Tuhan ,  mati   jugalah  ide-ide  dan   kebenaran  universal

Scene 14

The Death of God ( Thus Spoke Zarathustra)

Bagaimana Tuhan mati? Kitalah yang membunuhnya; (pencerahan kita dan sains kita yang mampu menjelaskan segalanya yang membunuhnya) Dengan kematian Allah, terbukalah horison seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang; tidak ada lagi kecengengan transendental. Tidak ada lagi manusia pengecut yang melarikan diri dari dunianya dengan berlindung dibawah naungan Allah

Scene 15

Kematian Tuhan: Kemerdekaan mutlak Kehilangan arah, kesepian, sendirian__inilah nihilisme Nihilisme: keadaan tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku. Ada dua macam nihilisme: Nihilisme pasif: persetujuan yang bersifat pesimistis bahwa nilai-nilai itu tidak ada dan hidup ini tanpa tujuan. Mereka ini sebenarnya merindukan makna dan moralitas, namun tak sanggup menemukannya. Nihilisme aktif: setuju terhadap hilangnya nilai dan makna, namun itu berarti kemenangan dan pembebasan, lalu melahirkan nilai-nilai baru yang diciptakan sendiri.

Scene 16

NIHILISME : KEMBALINYA YANG SAMA SECARA ABADI

Dunia ini, baik-buruknya, luhur-nistanya, agung-kerdilnya,  suka-dukanya ,  harapan-putus   asa ,  akan hancur dan kemudian akan muncul kembali dengan segala detilnya, persis sama berkali-kali sampai tak terhingga. Memuakkan, namun “Ja-Sagen”,  diterima saja. Berarti: penolakan terhadap transendensi; segalanya adalah immanensi;  1) tidak ada Tuhan Sang pencipta, tidak ada Sein kreatif diluar dunia ini; 2) tidak ada yang melampui dunia ini, seperti akhirat.

Scene 17

Setelah   kematian   Tuhan ,  akan   lahir   krisis Tanpa   adanya   false horizon,  sebagian   besar  orang  akan   kehilangan   orientasi Karena  sebagian   besar  orang ( lemah )  membutuhkan  “ ilusi ”  ini  demi  stabilitas . The Last Man  (the herd- kawanan )   dalam   krisis Ia   adalah   seorang   pengecut Ia   tahu   kalau   tidak   ada   kebenaran  moral  absolut ,  namun   takut   hidup   secara   otentik   dan   berpikir   untuk   dirinya   sendiri Meskipun   ia   merasa   terbebaskan ,  namun   ia   mengulang-ulang   kesalahan  yang  sama   dan   menolak   untuk   menggugurkan   kode-kode  moral  opresif  yang lama .

Scene 18

Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang berasal dari setiap orang untuk berkreasi, mencapai kebesaran dan kemudian memperolah kekuasaan. Selama berabad-abad, dorongan ini ditekan dan disingkirkan oleh agama dan sistem moralitas massa. Sebenarnya setiap batin manusia menuntut untuk lebih menonjol diatas massa (semua orang) dan menguasai segalanya.

Scene 19

“Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa, dan tak lebih dari itu! Dan anda sendiri pun adalah kehendak untuk berkuasa, dan tak lebih dari itu.” Kehendak untuk berkuasa adalah daya hidup paling primordial dalam diri manusia. Pengetahuan pun bekerja sebagai instrumen kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui sesuatu bergantug pada kehendak untuk mengeasai. Tujuan pengetahuan itu bukan menangkap kebenaran tertentu, melainkan untuk menundukkan sesuatu. Setiap pengetahuan tergantung kebutuhan kita, termasuk kebutuhan akan obyektifitas. Tidak ada kebenaran obyektif, kebenaran bersifat perspektival, tergantung perspektif penafsirnya, dan perspektif penafsir adalah kehendaknya untuk berkuasa.

Scene 20

Tujuan kebudayaan bukan kemanusiaa, namun ubermensch (Superman) Superman: Vital, teguh, terampil, bebas, berdaulat, ningrat, sedikit Manusia kawanan: lemah, pengecut, budak, tunduk, setia kawan, terlalu banyak Superman bebas namun tidak immoral; hanya saja mereka mampu menciptakan nilai-nilai sendiri__setelah sebelumnya mampu melakukan transvaluasi nilai sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh para budak. Mereka adalah yang melakukan Ja-Sagen, mengakui dirinya dan tidak menutupinya dengan kedok, representasi dari mentalitas Dionysos. Gambaran (meskipun kurang pas menurut Nietzsche sendiri): perpaduan antara Napoleon dan Goethe atau antara Julius Caesar dan Yesus.

Scene 21

Siapa mereka? Gabungan antara seniman, filosof dan orang suci Ia adalah orang yang mampu melihat kemungkinan-kemungkinan dalam horison yang hilang Ia mengikuti  will to power- nya dan bebas mengekspresikan dirinya Tidak semua Superman itu sama Mereka ini benar sesuai diri mereka masing-masing karena memiliki jalan sendiri-sendiri Mereka keluar dari masyarakat—bukannya memimpin, karena memimpin berarti: 1) terpaksa mengurusi yang lain lagi, 2) beresiko membuat diri jadi Tuhan baru, 3) bisa menghalangi yang lain untuk menjadi superman baru Apa yang harus dilakukan seorang Superman ? Nietzsche  tidak akan menjawabnya, karena kalau ia menjawab kita akan meniru/mengikutinya—dan bukan kehendak kita sendiri.

Scene 22

Nietzsche  telah memberi kita kebenaran “yang lain”  Nietzsche  telah memberi kita ide-ide radikal yang baru :  Perspectivism Menggugat moralitas budak dengan kriteria “baik” dan “buruk” -nya Menikmati Hidup dan bebas dari dunia tanpa makna Nietzsche  mengingatkan kita... Kita habiskan sebagian besar waktu kita tanpa melakukan apa-apa — kita bangun, bekerja, tidur, bangun, bekerja, tidur... Ikutilah “Will To Power”— berpikirlah “diluar kotak” Jangan jadi bagian dari kerumunan—tunjukkan dirimu dalam sejarah !

Scene 23

And those were seen
dancing
were thaaght to be insane
by üose
could not hear
the music.
— Fried*ch üetzsche

The Philosophy of Friedrich Nietzsche

Scene 1 (0s)

Scene 2 (8s)

Scene 3 (43s)

Scene 4 (1m 7s)

Scene 5 (1m 28s)

Scene 6 (1m 42s)

Scene 7 (2m 6s)

Scene 8 (2m 36s)

Scene 9 (3m 5s)

Scene 10 (3m 41s)

Scene 11 (4m 11s)

Scene 12 (4m 41s)

Scene 13 (5m 8s)

Scene 14 (5m 28s)

Scene 15 (5m 49s)

Scene 16 (6m 17s)

Scene 17 (6m 45s)

Scene 18 (7m 13s)

Scene 19 (7m 33s)

Scene 20 (8m 4s)

Scene 21 (8m 36s)

Scene 22 (9m 10s)

Scene 23 (9m 36s)